Kamis, 06 April 2017

Study Kasus: Manusia dan Kebudayaan

Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM dengan kualifikasi tertentu, sehingga pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan menjangkau kualifikasi tersebut. Distribusi pendidikan harus dapat menjangkau hingga ke pelosok negeri dan tidak hanya menjangkau masyarakat kelas ekonomi atas tapi juga masyarakat menengah ke bawah. Untuk menjangkaunya perlu fasilitasi terhadap kelas ekonomi tersebut dan juga menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Mereka yang paling memerlukan fasilitasi layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global bukan lagi hanya penyandang buta huruf tapi masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan.1

Pertanyaan yang muncul dengan adanya pernyataan di atas adalah, bagaimana dengan masyarakat komunitas lokal seperti suku Baduy Dalam? Apakah mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan formal yang modern? Tentu saja ada kendala tersendiri bagi pihak pemerintah maupun swasta yang ingin mengimplementasikan niat baiknya untuk menyentuh masyarakat suku ini dengan pendidikan modern. Suku Baduy Dalam memiliki tradisi untuk tidak mengenyam pendidikan modern yang mereka anggap melanggar adat. Selain dianggap melanggar adat mereka, yang menerima/ memberikan pendidikan ala kota dianggap akan kena kualat, bahkan tidak hanya orang itu saja melainkan satu suku juga bisa terkena kualat. Masyarakat Baduy Dalam mempunyai pilihan sendiri mengenai pendidikan, dan saat pemerintah menyarankan anak-anak Baduy Dalam untuk bersekolah, mereka menolak secara tegas karena jika mereka bersekolah akan menggeser budaya mereka.2 Akhirnya, mereka membuat sekolah sesuai dengan adat dan tradisi mereka (sekolah non formal). Bagi mereka menjaga budaya dan lingkungan sebagai warisan leluhur itu lebih penting daripada mengenal dunia luar yang sarat gelombang eksploitasi yang merusak alam. Masyarakat modern memandang suku Baduy Dalam sebagai suku primitif dan terbelakang, namun apabila berbicara soal menjaga keharmonisan alam maka masyarakat modern bisa jadi lebih primitif karena masyarakat Baduy Dalam lebih memahami soal cara menjaga alam.

Lantas bagaimana nasib segelintir orang yang menjadi bagian suku Baduy Dalam yang tidak menerima pendidikan seperti orang-orang pada umumnya? Meskipun masyarakat suku Baduy Dalam tidak menerima pendidikan formal seperti masyarakat modern, mereka tetap dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dari alam yang mereka jaga kelestariannya. Pada dasarnya mereka tidak mengenal pendidikan formal karena karena orang tua sudah mengajarkan pada anak-anaknya sedari kecil untuk tahu banyak hal tanpa perlu bersekolah. Komunikasi mereka didasarkan pada adat istiadat. Jika adat istiadat mereka mengatakan tidak boleh, maka mereka tidak boleh melakukannya. Sistem pendidikan masyarakat Baduy diajarkan secara turun temurun oleh orang tuanya dan mereka dapat belajar semuanya dari alam sekitar.

Suku Baduy Dalam, seperti halnya suku-suku di daerah pedalaman lain yang masih sangat terjaga, menilai semuanya bukan dari uang akan tetapi dari pemenuhan kebutuhan secukupnya dari alam yang dimanfaatkan secara arif dan bijak. Apabila pendidikan modern mulai dipaksa untuk diajarkan kepada mereka maka dampaknya mereka tidak akan lagi menjaga adat istiadat yang secara otomatis akan berdampak pula pada kerusakan kelestarian alam. Mungkin pendidikan modern dapat membuat masyarakat Baduy Dalam lebih maju secara teknologi, namun pendidikan modern juga berdampak buruk karena akan mengenalkan kepada mereka mengenai gemerlap dunia luar yang penuh dengan unsur kapitalisme dan individualisme. Padahal apabila ditilik dari segi sejarah pendidikan, sebenarnya pendidikan sekolah di indonesia itu berawal dari taman siswa. Kenapa disebut taman? Karena siswanya belajar dari alam. Mereka belajar di bawah pohon dan langsung berinteraksi dengan alam. Sampai akhirnya Belanda datang menjajah dan membuat sistem pendidikan di sekolah dengan teori-teori dan di dalam ruang yang tersekat. Sistem pendidikan seperti itu jelas membuat siswa jauh dari alam.

Sebagian berpendapat, kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran justru lebih baik ketika mereka belajar di ‘alam’ atau saat berada dekat dengan ‘alam’. Karena interaksi secara langsung dengan alam akan membuat anak-anak sebagai generasi penerus bangsa lebih mengenal lingkungannya. Sehingga, rasa ingin melindungi dan menjaga lingkungan perlahan akan timbul dengan sendirinya. Selain itu berdasar hasil penelitian pada suku Baduy Dalam terbukti bahwa pola pendidikan dengan sistem yang berlaku saat ini (modern) tidak selamanya menjadi  baik dalam ranah peningkatan taraf hidup, pencerdasan karakter, maupun penjagaan alam sebagai sumber kehidupan.




Sumber:
forumindonesiamuda.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar